Saturday, February 23, 2008

HARI HARI DI MEKAH (Lanjutan)



SENIN 10 Des 2007. Sesudah subuh kami mengikuti pengajian ustadz Fathurrohman Kamal di halaman luar pintu masuk Masjidil Haram. Saya sengaja minta no.hp pak Fathur & pak Kamiran karena saya merasa kurang mendapat info banyak tentang kegiatan rombongan 3. Misalnya, soal titip beli Al Qur'an di Percetakan Al Qur’an yang katanya akan dibelikan bila tak sempat beli, ternyata waktunya cuma dibatasi sehari. Dan saya baru tahu ketika ketua rombongan 5 Andar Jumalian menginformasikan hal itu kepada saya. Sayang, padahal saya ingin punya Qur’an gede yg harganya cuma 60 rial, sedang di toko buku di Pasar Seng harganya mencapai 150 rial.

Seusai pengajian jamaah KBIH Aisiyah menuju Ma'ala, makam istri Nabi SAW, Siti Chotijah r.a. Salah satu keistimewaan makam ini adalah seluruh lembah pemakaman menghadap Ka’bah. Perjalanan menuju makam ditempuh dengan jalan kaki, melewati Pasar Seng, juga Masjid Kucing atau masjid perawi hadis Nabi SAW, Abi Hurairah, yang dikenal sangat menyayangi kucing.

Makam Siti Chotijah r.a. berada di paling ujung di ketinggian bukit kecil. Makam beliau dikelilingi tembok setinggi 3 meter, ditemboknya dipasangi teralis besi bercat hijau. Setiap pengunjung (diatur masuk satu-satu) sehingga dapat melihat makam tersebut melalui celah teralis. Makamnya di pinggir luarnya diberi tembok pembatas setinggi sekitar 20 cm. Di dalam pembatas luar ada pembatas makam beliau yang juga dibatasi tembok putih setinggi sekitar 5 cm. Di bawah makam beliau adalah tempat pemakaman umum yang terbagi dua: sebelah kanan permanen & kiri sementara. Yakni setiap jasad dimasukkan ke lobang kubur (yang dpt diisi 2 tingkat, terus ditimbun jerami, lalu tanah, baru kemudian ditutup beton yg ada kait pengangkatnya). Dalam periode tertentu (setahun?) jenazah diganti dengan jenazah baru. Karena itu makam tersebut pas musim haji baunya agak menusuk hidung. "Beda dengan makam Baqi," kata Andar, "Kalau di Baqi jenazah dimasukkan lobang, lalu disimpan di lorong sehingga tak bersentuhan lansung dangan tanah". Di makam, baik baqi atau Ma’ala, perempuan tidak boleh masuk. Para ibu hanya bisa menunggu di aula yang sudah disediakan di ruang depan. Di Arab Saudi berlaku ketentuan bahwa perempuan dilarang melakukan ziarah kubur.

Usai dari Ma’ala, Ustadz Kamiran Komar di depan Ma'ala menunjuk posisi masjid Jin yang terletak persis di ujung hotel depan makam (dindingnya marmer berwarna coklat). Hampir pukul sepuluh kami usai berziarah, perut belum terisi makanan. Karena itu sambil jalan menuju pulang kami (hanya saya & istri, anggota regu kami yang lain tak ikut berziarah) membeli sepotong roti buat berdua dan 2 kopi susu cukup 5 rial dan mengenyangkan. Sesudah sarapan ala kadarnya kami melewati Pasar Seng, saya membeli buku "Sejarah Mekah" & "Sejarah "Madinah" masing seharga 15 rial (yang antara lain menjadi rujukan tulisan ini).

Sampai di maktab kami beli pisang 2kg (10 rial) dan roti 2 rial. Pisang cavendish (semacam pisang ambon), kata orang, bila sehari makan dua buah saja sudah cukup untuk menjaga tekanan darah melonjak (bagi yang hipertensi/darah tinggi). Makan siang bersama baru pkl 14.00 WAS (Waktu Arab Saudi). Rencana semula berjamaah di Masjid Haram pada saat asyar, maghrib, isya diubah hanya magrib dan isya saja. Sesudah asyar berjamaah di musala depan maktab kami (lengkap seregu) berangkat ke Haram pukul 15.30. Tapi ternyata sudah penuh, terus menuju lantai 3 pun penuh, terpaksa berdesakan dengan jemaah lain. Tempatnya terbuka, berangin sejuk, matahari tak lagi meyorot tajam. Dari atas ternyata pemandangan thowaf membuat perasaan saya lagi-lagi bergetar.

Ribuan orang bergerak serempak mengelilingi Ka'bah, berlawanan dengan arah jarum jam, dari lantai 3 rapi tampaknya, tapi kalau melakoninya sendiri ternyata penuh perjuangan. Berjuang untuk tak terpental ditabrak jemaah lain. Berjuang untuk khusuk, karena banyak jemaah berdoa dengan suara dikeraskan. Berjuang untuk pasrah dan tidak gampang marah. Kadang saking bersemangatnya menabrak hak orang lain yang bersama beribadah. Egoisme beribadah tinggi, kadang malah tak terkendali.

Mencium Hajar Aswad? Dalam suasana yang begitu padat. Kami seregu ihlas kalau hanya bisa kiss bye saja. Toh itu sunah. Kata ustadz Fathurrohman, kalau mau ada juga orang-orang bayaran yang siap mengantar jamaah mencium Hajar Aswad. Tentu saja mereka mengawal jamaah dengan cara sikut sana-sikut sini. Masya Allah.

(Kalau ada nasehat selama berhaji beristirahatlah cukup dengan tidur 6-8 jam sehari, barangkali orang yang memberi nasehat kala berhaji amat santai. Soalnya, kalau salat berjamaah ke masjid Haram atau Nabawi saban malam, dan setiap malam harus bangun pukul 2 pagi ke masjid agar memperoleh tempat, maka istirahat pun harus diirit. Hitungan 6-8 jam tidut tak lagi terpikirkan). (Lanjut ke posting berikutnya).

(Selain pengetahuan & praktek keagamaan harus kompetent, seorang pembimbing haruslah bersikap sebag aifasilitator. Komunikatip dan punya empati. Komunikatif artinya harus banyak mendengar & berbicara dg banyak orang, secara efektif. Empati berarti harus bisa menempatkan diri pada berbagai kondisi orang yang difasilitasi. Apakah pembimbing haji sudah memiliki kriteria ini?).

Selasa,11 Des 2007: Sehabis subuhan dari masjid Haram kami beli sayur ala Indonesia, onde2 & tempe, juga sayur pare (1 rial) di area terminal bis ulang-aling Aziziyah-Masjid Haram, depan maktab kami. Di maktab para ibu yang tidak ke Haram sudah masak bakmi godog dengan sayur sawi. Lumayan buat tambah stamina. (Sementara roti ala Arab seharga 1 rialan masih 2 tangkup di lemari es). Dhuhur & Asyar kami berjamaah di maktab, Mahgrib & Isya di Haram. Meski kami berenam (Sugeng & istri, saya & istri, Pujo & Hoddin) berangkat ke Haram pukul 4 sore, padahal maghrib baru pukul 17.35, masjid sudah penuh. Kami, akhirnya dapat tempat di lantai 3 sementara, ibu2 di lt.2. Beruntung saya bersebelahan dengan Mehmet Emerca, jemaah asal Istanbul, Turki, yang ramah. Ia bercerita bahwa ongkos haji standar bagi jemaahnya adalah 2200 dolar Eropa (atau sekitar Rp 13.500 x 2200 = Rp 29,7 juta) ya masih murahan kita sedikit.

Rabu (12/12) pukul 8 waktu setempat. Kami berangkat ke Arafah, bukan untuk wukuf tetapi berwisata sekalian melihat-lihat kayak apa to Arafah itu. Sebelum berangkat ada sebuah pengumuman yang ditempel di lift bahwa seluruh jamaah yang nginap di maktab 714 memperoleh pengembalian sewa penginapan 300 rial. (Dulu di Madinah dikembalikan 100 rial, alhamdulillah, buat tambahan sangu). Di Arah ternyata kami hanya melintas, kemudian menuju Jabal Rahmah. Meski retoran masih pada tutup tetapi jamaah lain (baik dari Indonesia maupun negara lain) cukup banyak. Di pelataran sebelum menuju Jabal rahmah banyak terdapat pedagang kaki lima yang menjual oleh-oleh (sajadah maupun kerajinan lain). Banyak pula unta yang dihias kemudian disewakan untuk dinaiki atau sekedar berfoto-ria. Saya dan istri tertarik untuk naik salah satu unta tersebut. Kami tidak tahu persis bagaimana kondisi “persewaan” unta ini. Hanya kata pak Tarjo (ketua rombongan 3) sewanya 10 rial. Kami berdua pikir dengan uang sejumlah itu bila bisa naik unta dan berkeliling di sekitar itu lamyanlah. Eh, ternyata naik untanya gratis, tapi jepretan foto polaroidnya (oleh pembawa unta) itu yang bisa jadi “senjata pemerasan”. Begitu kami naik langsung saja jeprat-jepret polaroid beraksi. Semakin banyak dijepretkan semakin banyak pula si pembawa unta itu menangguk untung. Harga 1 jepretannya pun ia paksa 20 rial. La kalau 10 jepretan, padahal posisi yang difoto asal-asalan bisa-bisa kami harus bayar 200 rial. MasyaAllah. Karena itu begitu ia menjepret kami 5 kali langsung saya minta berhenti, langsung saya bayar 50 rial. Karena deal pertama hanya 10 rial sekali jepret. Meski ia terus memaksa kami bayar 100 rial. Ini pelajaran pertama ditipu orang Arab di Arafah. "Makanya lain kali harus jelas dulu dealnya," kata istri saya. Namun, saya tak yakin apakah orang-orang semacam itu benar-benar pegang janji. Akhirnya niat mau naik ke Jabal Rahmah (konon tempat bertemunya Adam & Hawa) urung. Gara-gara naik unta.

Sebenarnya wisata ini sekaligus melihat poisi tempat melempar jumrah dan sebagainya. Tetapi karena pembimbing kami ketiduran di bis, ya akhirnya lewat. Lewat, atau melalui tempat yang diagendakan, tetapi karena tak ada yang berhalo-halo memberi tahu ya blabas saja. Sampai kemudian kami tiba di suatu tempat kayak pelataran dimana kami bisa melihat dari kejauhan orang-orang mendakit Bukit Hira. Berfoto bersama sebentar, lalu balik ke maktab pukul 11.30. kami seregu berharap bisa makan siang di maktab dari jatah yang dibagi panitia tadi pagi (karena kami sudah sarapan dari maktab). Ternyata begitu mau dimakan bersama-sama ternyata sudah basi. Jadi, jatah makan di sini memang tak bisa disimpan lebih dari 2 jam. Cuma, jatah makan kali ini diberikan dalam kotak alufoil yang polos. Tak seperti jatah makan di Madinah, misalnya, yang selalu dalam kotak alufoilnya ada peringatan dari jasa boganya kalau makanan tersebut tak boleh disimpan lebih dari 2 jam. Syukurlah, masih ada abon yang dibawa dari tanah air. Sore harinya kami bertiga (saya, Pujo, Sugeng) ke Haram berjamaah maghrib & isya. Pak Hoddin dan istri ke Haram juga tetapi berangkat lebih dulu karena ada janji ketemu dengan keluarga. Sedang ibu-ibu regu kami yang lain kecapaian. Bertiga kami menuju lantai 2, suasan sudah padat jamaah. Tetapi kami nekat saja cari celah. Pokoknya, tekad kami, tak perlu harus kumpul bertiga untuk mendapatkan saf. Tetapi saling mengingat posisi masing-masing sehingga ketika mau pulang bisa bersama lagi. Oleh karena itu pak Pujo dapat tempat di sebelahnya orang Pakistan, pokoknya asal bisa omong dengan bahasa “tarzan” cukuplah. Begitu juga pak Sugeng bersebelahan dengan orang India. Saya sendiri malah bersebelahan dengan orang Gorontalo. Ketika pulang karena saking bersemangatnya bercerita tentang komunikasi dengan bahasa “tarzan” itu kami nyaris nyasar ke jurusan Misfalah. Akhirnya, sesudah sadar kami nyasar cukup jauh, kami balik lagi ke masjid, kemudian kami mengingat-ngingat lagi pintu masuk dan nomor eskalator yg kami lalui ketika masuk tadi. Eskalator Aijad no.8 pun ketemu, dan kami alhamdulillah bisa balik lagi ke maktab.

(Catatan:Terminal bis Masjid Haram yang menampung bis dr Aziziah didominasi oleh 3 bendera: Merah Putih (Indonesia), Merah Putih Hitam plus panah Hijau (India), dan Diyanet (ini semacam Event Organizernya grup Turki) serta Iran. Diyanet bisnya berwarna oranye merek nya Mercides Bens, India dan Iran bisnya berwarna biru muda merek Hyuandai, sdg Indonesia berwarna hijau bisnya bermerek Yutong (China) masih baru. (Orang Indonesia & India sama-sama suka nerobos pagar antrean yang dibatasi rantai. Sementara orang Turki lebih tertib, antre. Di Aziziah 3-4 komunitas ini memang dominan, tetapi yang paling banyak orang Istanbul. Bahkan restoran iIstanbul marak di sini. Ayam panggang 14 real/ekor. Beli 1/2 ekor 7 rial. Roti buaya (bentuknya kayak buaya),rasanya tawar gurih,1real sebiji. Roti arab yang gepeng bundar (besar/kecil), yang biasa dimakan oanrg Arab beramai-ramai, sebiji 1 real juga. Roti itu dimakan dengan diolesi susu keju (3rial) terasa nikmat. (Bersambung ke posting berikutnya).

Wednesday, February 06, 2008

HARI-HARI DI MEKAH








SENIN 10 Des 2007. Sesudah subuh kami mengikuti pengajian ustadz Fathurrohman Kamal di halaman luar pintu masuk Masjidil Haram. (Saya sengaja minta no.hp pak Fatkhur & pak Kamiran karena saya merasa kurang mendapat info tentang kegiatan Rombongan 3. Misalnya, soal titip beli Al Qur'an di Percetakan Al Qur’an yang katanya akan dibelikan bila tak sempat beli ternyata waktunya cuma dibatasi sehari. Dan saya baru tahu ketika ketua rombongan 5 Andar Jumalian menginformasikan hal itu kepada saya. Sayang, padahal saya ingin punya Qur’an gede yg harganya cuma 60 rial, sedang di toko buku di Pasar Seng harganya mencapai 150 rial.
Seusai pengajian jamaah KBIH Aisiyah menuju Ma'ala, makam istri Nabi SAW, Siti Chotijah r.a. Salah satu keistimewaan makam ini adalah seluruh lembah pemakaman menghadap Ka’bah. Perjalanan menuju makam ditempuh dengan jalan kaki, melewati Pasar Seng, juga Masjid Kucing atau masjid perawi hadis Nabi SAW, Abi Hurairah, yang dikenal sangat menyayangi kucing.
Makam Siti Chotijah r.a. ada di paling ujung di ketinggian bukit kecil. Makam beliau dikelilingi tembok setinggi 3 meter, ditemboknya dipasangi teralis besi bercat hijau. Setiap pengunjung (diatur masuk satu-satu) sehingga dapat melihat makam tersebut melalui celah teralis. Makamnya di pinggir luarnya diberi tembok pembatas setinggi sekitar 20 cm. Di dalam pembatas luar ada pembatas makam beliau yg juga dibatasi tembok putih setinggi sekitar 5 cm. Di bawah makam beliau adalah tempat pemakaman umum yg terbagi dua: kanan permanen & kiri sementara. Yakni setiap jasad dimasukkan ke lobang kubur (yg dpt diisi 2 tingkat, terus ditimbun jerami, lalu tanah, baru kemudian ditutup beton yg ada kait pengangkatnya). Dalam periode tertentu (setahun?) jenazah diganti dengan jenazah baru. Karena itu makam tsb baunya agak menusuk hidung. "Beda dg makam Baqi," kata Andar, "Kalau di Baqi jenazah dimasukkan lobang, lalu disimpan di lorong sehingga tak bersentuhan lansung dg tanah". Di makam, baik baqi atau Ma’ala, perempuan tidak boleh masuk. Para ibu hanya bisa menunggu di aula yg sudah disediakan di ruang depan. Di Arab Saudi berlaku ketentuan bahwa perempuan dilarang melakukan ziarah kubur.
Usai dari Ma’ala, Ustadz Kamiran Komar di depan Ma'ala menunjuk posisi masjid Jin yg terletak persis di ujung hotel depan makam (dindingnya marmer warna coklat). Hampir pukul sepuluh kami usai berziarah, perut belum terisi makanan. Karena itu sambil jalan menuju pulang kami (hanya saya & istri, anggota regu kami yg lain tak ikut berziarah) membeli sepotong roti buat berdua dan 2 kopi susu semuanya 5 rial dan cukup mengenyangkan. Sesudah asarapan ala kadarnya kami melewati Pasar Seng, saya membeli buku "Sejarah Mekah" & "Sejarah "Madinah" masing seharga 15 rial.
Sampai di maktab kami beli pisang 2kg (10 rial) dan roti 2 rial. Pisang cavendish (ambon), kata orang, bila sehari makan dua buah saja sudah cukup untuk menjaga tekanan darah melonjak (bagi yg hiopertensi). Makan siang bersama baru pkl 14.00 WAS (Waktu Arab Saudi). Rencana semula berjamaah di Masjid Haram pada saat asyar, maghrib, isya diubah hanya magrib dan isya saja. Sesudah asyar berjamaah di musala depan maktab kami (lengkap seregu) berangkat ke Haram pukul 15.30. Tapi ternyata sudah penuh, terus menuju lantai 3 pun penuh, berdesakan. Tempatnya terbuka, berangin sejuk, matahari tak lagi meyorot tajam. Dari atas ternyata pemandangan thowaf membuat perasaan saya bergetar.
Ribuan orang bergerak serempak mengelilingi Ka'bah, berlawanan dengan arah jarum jam, dari lantai 3 rapi tampaknya, tapi kalau melakoninya sendiri ternyata penuh perjuangan. Berjuang untuk tak terpental ditabrak jemaah lain. Berjuang untuk khusuk, karena banyak jemaah berdoa dengan suara dikeraskan. Berjuang untuk pasrah dan tidak gampang marah. Kadang saking bersemangatnya menabrak hak orang lain yg bersama beribadah. Egoisme beribadah tinggi, kadang malah tak terkendali.
Mencium Hajar Aswad? Dalam suasana yang begitu padat. Kami seregu ihlas kalau hanya bisa kiss bye saja. Toh itu sunah. Kata ustadz Fatchur, kalau mau ada juga orang-orang bayaran yg siap mengantar jamaah mencium Hajar Aswad. Tentu saja mereka mengawal jamaah dengan cara sikut sana-sikut sini. Masya Allah.
(Kalau ada nasehat selama berhaji beristirahatlah cukup dengan tidur 6-8 jam sehari, barangkali orang yg memberi nasehat kala berhaji amat santai. Soalnya, kalau salat berjamaah ke masjid Haram atau Nabawi saban malam. Dan setiap malam harus bangun pukul 2 pagi ke masjid agar memperoleh tempat, maka istirahat pun harus diirit. Hitungan 6-8 jam tidut tak lagi terpikirkan). (Lanjut ke posting berikutnya).

Monday, January 28, 2008










SEMINGGU DI MEKAH
Buku ("Kudeta Mekkah, Sejarah Yang Tak Terkuak") yang diterbitkan pada Desember 2007 dan ditulis Trofimov selama setahun itu dilengkapi dengan catatan kaki serta penjelasan bagaimana ia memperoleh data dan narasumber. “Saat itu, pelukan ortodoksi Wahhabi tampak seperti kebijakan pertahanan yang arif bagi Istana Saud. Baru setelah beberapa dekade, indoktrinasi ini telah melahirkan sebuah generasi baru kelompok radikal al-Qaeda. Beberapa pangeran senior menyadari kebodohan itu. “Saya yakin, kita telah melakukan kesalahan di kerajaan ini,” Pangeran Khalid al-Faisal, Gubernur Provinsi Asir, kampung halaman sang Mahdi (dalam buku itu bernama Muhammad Abdullah, berumur sekitar 20an tahun, tewas akibat ledakan granat yang dilempar tentara Saudi di basement Masjid Haram tempat persembunyian para pemberontak), mengakui pada tahun 2004. “Kita telah membersihkan orang-rang yang terlibat dalam kejahatan Juhaiman, tetapi kita mengabaikan ideologi yang berada di belakangnya. Kita telah membiarkan itu tersebar di negeri ini, mengabaikan seolah-oleh ia tidak ada.” (Hal 317).
Waktu itu, tepat setelah pemberontakan Mekkah, Osama bin Laden masih seorang warga Saudi yang patuh. Tumbuh dalam keluarga relatif modern, dia berasal dari generasi Saudi yang berbeda dan lebih canggih. Tidak seperti Juhaiman, Bin Laden tidak memiliki persoalan dengan foto atau televisi, menganggap semua itu sebagai senjata paling berharga untuk jihad. Pastinya, Bin Laden tidak memiliki teori ganjil seperti Juhaiman –dan, setelah kematian Muhammad Abdullah, yang terbukti salah—tentang kedatangan Mahdi pada 1400 tahun Islam.
Namun, terkejut oleh keganasan prang di Mekkah, dan oleh restu para pemimpin keagamaan bagi serangan militer, pendiri al-Qaeda di masa depan ini tidak dapat menahan perasaan simpati terhadap Juhaiman dan motif pemberontakannya. Dalam komentar publiknya mengenai pemberontakan di Mekkah, yang dibuat di tahun 2004, Bin Laden menyimpan segenap kemarahannya terhadap rezim Saudi. “(Pengeran pewaris tahta) Fahd sudah mengotori kemulian Masjid al-Haram.” Kenang Bin Laden dalam rekaman suara yang dikirim ke pelbagai situs Web pejuang jihad. “Dia memperlihatkan sikap keras kepala, melawan nasihat setiap orang, dan mengirim tank baja serta kendaraan-kendaraan bersenjata ke dalam Masjid. Saya masih ingat jejak tank-tank baja di ubin Masjid. Orang-orang masih ingat bahwa menara-menara diselimuti asap hitam karena dibombardir oleh tank-tank.” (Hal 321-322).

AHAD 9 Des 2007. Ini hari kedua di Mekah. Subuhan di Haram berbeda dengan di Nabawi, di sini laki-perempuan bercampur. Begitu azan dikumandangkan orang-orang yg melakukan thowaf berhenti, siap bersalat. Kami berlima (saya&istri, Hoddin&istri, Sugeng) kali ini berkesempatan salat di lantai 2. Lantai 1 penuh. Karena di rung setengah terbuka AC tak begitu dibutuhkan, yang ada kipas angin berjumlah banyak. Kami masuk via eskalator (tangga berjalan) no. 8.
Sesudah salat subuh kami sempat bertemu dengan kakak istri saya, Abdulrahman, yg berangkat dari Salatiga (kloter 45). Kami sebelumnya janjian ketemu di depan pintu 1 (Babul Malik). Alhamdulillah, kami bertemu tepat waktu, tanpa kesulitan mencari. Ia sebenarnya berangkat ke Haram dengan istrinya, tapi sang istri sudah dengan rombongan ibu-ibu satu regunya pulang ke maktab duluan karena ada urusan.
Sesudah ngobrol kangen dengan kakak, kami pulang ke makhtab. Di depan maktab, dekat terminal Aziziyah, kebetulan masih banyak orang-orang Indonesia (kebanyakan dari Madura) yang bekerja di Mekah jualan makanan Indonesia seperti, pecel, bakwan, nasi goreng, kacang ijo yang harganya rata-rata 1-2 rial. Kami seregu membeli bersama untuk dimakan bersama di maktab. Makan bersama dengan menu Indonesia begitu nikmat, alhamdulillah.
Kala zuhur saya & pak Pujo berjamaah di musala depan maktab tidak ke Haram. Saya membantu istri menjereng pakaian di lantai 11 sambil mengambil foto bukit dan jalanan Aziziyah. Makan siang bersama molor hingga 14.30 karena ternyata pak Hodin & pak Sugeng yg berjamaah di Haram pulangnya nyasar, bisnya keblabasan dan berhenti di maktab lain yg lumayan jauh. Jadi, ibu-ibu makan siang duluan, kami bapak-bapak berempat ini menyusul kemudian.
Sore hari diumumkan oleh Karom 3 agar para jamaah membayar dam 380 rial/jamaah diserahkan ke kepala regu masing-masing. Kami seregu membuat kesepakatan untuk salat berjamaah di Haram: Subuh, Asyar, Maghrib, Isya (Zuhur di maktab). Kalau misalnya ada yg tak kuat akan dikoreksi. Kesepakatan ini berlaku mulai besok (Senin,10/12/07), insyaAllah. (Bersambung ke posting berikutnya)

Saturday, January 26, 2008

AWAL DI MEKAH










(III) MEKAH
Sabtu 8 Desember 2007. Pak Sutarjo (Karom 3) mengumumkan akan ada pembekalan sebelum berangkat Umroh, tapi kami menunggu tak ada pembekalan itu, sehingga regu kami harus bertanya ke berbagai pihak bagaimana caranya menuju ke Masjidil Haram. Ini adalah saat saat pertama kami menginjakkan kaki di Mekah. Akhirnya, dengan menumpang bis berstiker Merah Putih sambil berdesakan sampai pula kami di Masjidil Haram. Di halaman masjid ternyata rombongan KBIH Aisiyah sudah berkumpul. Tak lama kemudian kami beringsut menuju Baitullah melalui pintu Ismail (No.10).
Ketika melihat Ka’bah pertama kali, hati saya bergetar. Sekian puluh tahun kami salat berkiblat kepada Ka’bah, tetapi baru kali inilah saya melihat langsung Ka’bah, doa pun meluncur. ”Maha Suci Allah, Allah Maha Agung”, begitu ucap saya sambil tercekat ketika melihat Hajar Aswad dari pada saat memulai thowaf yang ditandai lampu hijau yang berada di atas menempel di bangunan masjid. Saya pun sudah menyiapkan karet gelang untuk menghitung hingga ke tujuh kali putaran melawan arah jarum jam (Ka’bah berada di sebelah kiri saya). Suasana barisan manusia memang padat. Ada yang berpakaian umroh seperti kami, tubuh hanya dibalut dua lembah pakaian putih yang tak berjahit. Ada pula yang berpakaian biasa. Ada yang berdoa dengan suara keras, kemudian ditirukan anggota rombongannya. Ada pula yang berdoa dalam gumaman sambil menyimak buku kecil atau lembaran-lembaran doa yang diberi tali digantungkan di leher. Orang-orang besar, tinggi, hitam maupun putih (dari Afrika dan Eropa), mendesak orang-orang kecil seperti kami (dari Asia). Di tengah kekhusukan berdoa terjadi saling desak, bahkan kadang-kadang ada yang tiba-tiba memotong jalan, jalan berzig-zag, bahkan sambil menyikut. MasyaAllah.
Beberapa orang (dari negara lain) bahkan nekat salat di belakang dekat Maqam Ibrahim, padahal arus putaran manusia padat. Itu yang membuat regua kami, antara lain, terkaget-kaget karena terpaksa tiba-tiba harus menghindar agar tidak menabrak orang-orang yang salat itu. Padahal dorongan arus manusia dari belakang untuk terus berjalan ke depan kuat. Kalau kami dalam barisan regu tidak saling menjaga diri bisa jadi ikut goyah dan jatuh.
Setiap saya berada di multazam, daerah antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah (tempat berdoa yang paling mustajab), saya curahkan semua doa, untuk saya, keluarga dan doa titipan dari kerabat dan teman-teman di tanah air. Semoga doa-doa saya didengar dan dikabulkan Allah SWT. Amin. Mungkin karena saking khusuknya, salah satu anggota regu kami tiba-tiba mengomando: ”Ini sudah putaran ketujuh (terakhir)”. Lo, karet gelang saya di tangan kiri masih satu, jadi masih enam putaran belum tujuh. Di tengah saling keraguan akhirnya dicapai kata sepakat, lebih baik digenapkan ke atas daripada ke bawah. Artinya, mengikuti sekali lagi putaran.
Sehabis thowaf, sholat 2 rakaat di belakang Maqam Ibrahim, terus mundur ke deretan kran air zam-zam yang berjejer dan selalu dipenuhi jemaah. Sambil minum air zam-zam yang dingin (di sini tak ada yg not cold, kecuali di dalam Masjidil Haram), yang didahului berdoa memohon kepada Allah SWT (sambil menghadap Ka’bah) diberi ilmu yg bermanfaat, rezeki yg banyak dan kesembuhan dari segala penyakit. Amin. Lalu menuju bukit Sofa dan Marwa untuk sa’i. Suasana memang saling berdesakan karena kami mengambil tempat bersa’i di lantai 1. Lantai 2 memang agak longgar, lantai 3 sedang dibangun.
Sambil berjalan pelan sekhusuk mungkin, kadang berlari-lari kecil ketika melewati batas antar dua lampu neon hijau yang memanjang di atas (ini adalah tempat ceruk (dulu) yg harus dilewati Hajar, istri Nabi Ibrahim AS, ketika mencari air untuk putranya, Ismail AS). Namun, adab Islam yang harus menghormati sesama jamaah sering diabaikan, termasuk menyerobot hak kaum difabel (different abilities people) yang sudah disediakan jalan khusus untuk kursi roda. Di jalur ini banyak orang yg bukan difabel ikut menyusurinya padahal bukan sanak difabel yg berada di kursi roda.
Tak pernah terbayangkan oleh saya, bagaimana keadaan jalur Sofa dan Marwa yg membentang sekitar 450 meter dengan sebelas pintu gerbang di sisi-sisinya, ketika pada 1400 H (1979 M), Juhaiman Al-Utaibi, seorang Wahhabi ortodok dari kalangan suku konservatif Najd, bersama kelompoknya mengambil alih Masjidil Haram dengan cara kekerasan sehingga banyak jamaah tersandera –termasuk dari Indonesia ada yang meninggal dan terluka tapi kemudian dibebaskan. Banyak pasukan Juhaiman bersenjatakan Kalasnikov dan tentara Kerajaan bersimbah darah dan terbunuh (baca "Kudeta Mekkah, Sejarah Yang Tak Terkuak" karya Yaroslav Trofimov koresponden The Wall Street Journal, 2007). Padahal sabda Nabi Muhammad SAW: ”Diharamkan bagimu membawa senjata ke Mekah”. Serta hadis yg lain: ”Tidaklah dibolehkan melakukan perang di Mekah bagi orang-orang sbeleum saya, dan tetap terlarang untuk orang-orang setelah saya”. (Bersambung ke posting berikutnya).

Madinah ke Mekah






Senin, 3 Desember 2007, zuhur dan ashar saya tidak berjamaah di Nabawi karena sesudah mengejar Raudhan semalam hampir tidak tidur. Jelas, salat Arbain (salat wajib berjamaah selama 8 hari berturut tak terputus di masjid Nabawi) saya tak terpenuhi, juga teman seregu. Saya selalu diingatkan orang agar selalu fokus ke ibadah haji yg wajib, sedang salat Arbain sunah. Jangan sampai terforsir mengejar yg sunah, pada saat menjalankan ibadah wajib tenaganya kedodoran. Hari pertama tiba di Madinah saja saya sudah kehilangan tenaga, hari berikutnya konsentrasi beribadah sambil memulihkan stamina, tidur dicukupkan, makan yg banyak tambah buah (pisang dan apel banyak dijual Madina maupun Mekah).
Selasa, 4 Desember 2007. Pukul 7 pagi kami sudah bersiap-siap berwisata ke percetakan Al Quran terbesar di dunia (sebulannya tak kurang mencetak 12 juta Qur’an, luasnya 220.000 m2). Setiba di percetakan perempun dilarang masuk, hanya laki-laki saja yg diperkenankan masuk ke percetakan. Perempuan hanya di toko, tempat penjualan Qur’an. Tetapi karena bapak-bapak juga bersemangat membeli, tempat jadi berjubel. Saya yg berminat memiliki Qur’an besar (sekitar 40x50 cm) seharga 60 rial (di Pasar Seng dijual 100 rial) terpaksa gigit jari. Selain Al Qur’an cetak juga dijual yang dalam bentuk kaset maupun CD.
Raja Fahd, atau Pelayan dua kota suci, memilih Madinah AL Munawwarah sebagai tempat percetakan Al Qur’an ini karena Madinah adalah kota Al Qur’an, di sana Qur’an ditulis, diharkati, dan dari sana dibagi-bagikan ke seluruh penjuru dunia. Peletakan batu pertama dilaksanakan pada 16 Muharram 1403 atau 2 November 1982. Dan komplek ini mulai beroperasi pada bulan Safar 1405 atau Oktober 1984. Komplek seluas 1.250 m2 terletak di pinggir jalan dari Madinah ke arah Tabuk. Komplek banguan ini dilengkapi dengan kantor, perawatan, percetakan, gudang, pemasaran, tarnsportasi, asrama. Juga di samping masjid komplek ada klinik, perpustakaan dan kantin.
Untuk meyakinkan bahwa hasil cetakan sama sekali tak ada kesalahan maka cetakannya harus melalui beberapa tahapan: Para ulama ahli mengawasi teks dengan mengawi volume yg hendak dicetak, dan setiap volume harus ditandatangani untuk meyakinkan keabsahan dan izin mencetak. Ketika mulai dicetak pada jam tertentu sehingga hasil cetakan muncul dari alt yg bekerja rata-rata 5 menit, lalu para lajnah yg terdiri atas para ulama ahli mengoreksi cetakan ini sehingga tak ada kesalahan. Bila ada kesalahan alat langsung dimatikan. Setelah dicetak, volume diserahkan ke bagian pengumpulan, penjahitan dan penjilidan. Proses ini berjalan di bawh pengawasan para ahli. Mushaf yg telah dijilid diletakkan di dalam troli yang memuat 900 mushaf. Lalu diambil salah satu contoh dari setiap troli, diperiksa halaman per halaman. Bila ditemukan kesalahan lajnah divisi pengawas memberi pengumuman. Troli kemudian dibawa ke divisi pengawasan terakhir (jumlah pekerjanya 750 orang). Mereka meneliti setiap naskah, lalu bila sudah oke diberi stempel “telah diperiksa”. Lalu divisi peneliti mengambil beberapa mushaf yg sudah distempel untuk diperiksa kembali. Setelah selesai melewati rangkaian setiap cetakan lalu ditulis dalam sebuah laporan lengkap tentang naskah yg telah disahkan, dan yg dapat ctatan serta yg hilang.
O ya sebelum ke percetakan di atas, kami dipandu melihat Gunung Putih/Jabal Baidho (?). Sayang tak ada penjelasan yg rinci soal ini. Dan jalan yang mengandung magnit sehingga bila mobil melintasinya dengan mesin dimatikan, mobil bisa berjalan sendiri ditarik oleh medan magnit yang kuat. Kemudian pukul 10.30 kami para jamaah wisata kembali ke maktab. Karena waktunya yang mepet salat zuhur & ashar saya lakukan berjamaah di penginapan. Baru pada saat maghrib, isya, dan subuh kami berjamaah di Nabawi.
Masjid Nabawi diperluas oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz (1405 H-1414 H) yang disebut sebagai perluasan terbesar sepanjang sejarah, sehingga kapasitas masjid bertambah 9 kali lipat. Peletakan batu pertama perluasan tepat pada hari Jum’at (9/2/1405 H atau 2/11/1984 M). Proyek dimulai pada bulan Muharram (1406 H/1985 M) dan selesai pada 1414 H atau 1994 M).
Pada perluasan ini didirikan 6 menara adzan yg baru. Ballroom, lanti dasar, lanti atas dipugar. Lantai dasar adalah bangunan utama luasnya 82.000 m2 yg dilapisi batu pualam. Tinggi bangunan 12,55 meter. Jumlah tiang keseluruhan di lantai ini 2.104 buah. Jarak antara tiang 6 meter sehingga terbentuk lorong dengan luas 6x6 meter. Di areal yg atapnya ada kubah, jarak antar tiang 18 meter sehingga membentuk lorong 18x18 meter dan terdapat 27 lorong. Lorong ini ditutupi oleh kubah yg dapat digerakkan secara elektrik, agar memperoleh sirkulasi udara dan penerangan yg cukup di saat cuaca bagus.
Kubah ini berdiameter 7,35 meter dengan berat bersih 80 ton/kubah. Bagian dalam kubah terbuat dari kayu dengan motif ukiran tangan dan pada bagian lain dilapisisi dengan kertas emas halus dan tipis. Bagian luar kubah terbuat dari keramik Jerman dengan penyangga dri batu granit.
Halaman lantai atas asjid dapat digunakan untuk salat seluas 58.250 m2 . Jadi luas keseluruhan sesudah perluasan ini 67.000 m2 . Areal ini dilapisi batu pualam dari Yunani, dipergunakan untuk salat yang terkena sinar matahari, dapat menampung 90.000 jamaah. Di lantai ini ada serambi yg diberi atap berukuran 11.000 m2 setinggi 5 meter. Lantai atas ini sengaja dirancang untuk pembuatan lantai berikutnya.
Masjid ini dikelilingi dari arah selatan, utara, barat dengan halaman seluas 235.000 m2 Sebagian halaman ini dilapisi batu pualam berwarna putih yg dingin dan memantulkan energi panas, dan bagian lain dilapisi batu granit. Penerangan kawasan ini digunkan lampu khusus yg ditempatkan pada 151 tiang dilapisi batu granit dan batu buatan. Halaman ini dapt menampung sekitar 430.000 jamaah. Di halaman ini terdapat pintu masuk ke toilet, tempat wudhu’ dan tempat peristirahatan bagi para peziarah, yang berhubungan langsung dengan tempat parkiran mobil, dua lantai di bawah tanah. Sesudah perluasan masjid Nabawi mampu menampung lebih dari 698.000 jamaah.
Pada tahun 1393 H atau 1973 H, sebelum perluasan, Raja Faishal memerintahkan untuk menyediakan tempat salat di sebelah barat masjid. Bangunan di kawasan ini dibongkar dan para pemiliknya mendapat ganti lebih dari 50 juta rial, kemudian dibuatkan payung yang bisa menaungi 35.000 m2 . Payung yang secara elektrik bisa dibuka-tutup ini ditiru dan diterapkan di Masjid Agung Semarang (“Ini memang disupervisori langsung dari Masjid Nabawi, cuma yg di masjid ini dibuat di Bekasi,” kata Agus, salah seorang panitia pengelola Masjid Agung. Untuk membuka 6 payung ini sekali, biasanya hari Jum’at, biayanya Rp 1 juta karena daya catu listriknya sendiri 6.000 watt) yg diarsiteki Ir. H. Ahmad Fanani dkk (Atelier 6). Saya secara kebetulan melihat langsung bagaimana payung di Nabawi ini menutup, juga bagaimana kubah seberat 80 ton di atap masjid Nabawi (jumlahnya 27 buah) bergeser membuka, tanpa suara, yang diatur bergiliran.
Jum'at 7 Des 2007: Sesudah Jum'atan di Nabawi bakda Ashar kami bersiap menuju Mekah. Salat Jum'atan di Nabawi mempunyai nuansa yang khusus. Khotbahnya pendek, tapi menyentuh (meski saya tak sepenuhnya faham), intinya mendoakan jemaah, calon haji, menjadi haji mabrur. Doanya diucapkan dengan menggetarkan hati para jamaah.
Sehabis Jum'atan kami mempersiapkan barang bawaan. Selamat tinggal masjid Nabiku tercinta. Selamat tinggal kota yg tercatat dalam sejarah sebagai tempat lahirnya Piagam Madina, awal dicetuskan Masyarakat Madani/Sipil (Civil Society). Banyak hal menarik di Masjid Nabawi, antara lain manajemen. Masjid yg setiap salat 5 waktu selalu diikuti ratusan ribu jemaah ini sepertinya tak pernah menolak tamu. Meski selalu didatangi jemaah bak gelombang pasang tetapi di dalamnya selalu ada saja saf yg kosong. Petugasnya selalu melayani jemaahnya dg baik, mengambil minuman zam-zam, juga Quran. Quran selalu ditata dg rapi. Mereka ini petugas cleaning service dari perusahaan Saudi bin Ladin, perusahaan raksasa milik keluarga besar Osama bin Ladin. Meski di dalam masih bisa terisi, di luar masih pula diminati jemaah untuk bersalat meski tak boleh melewati batas imam,yg pengumumannya ditulis dengan Indonesia, selain Arab dan Inggris.
Bis-bis penjemput datang pkl 15.30 tapi baru pukul 17.30 berangkat itupun masih berputar-putar di sekitar Madinah. Bis-bis inipun kemudian baru sampai di masjid Bir Ali, tempat miqat kami, pukul 22.00. Keterlambatan ini dipicu juga oleh ketidak beresan bis rombongan kami (3) yang sesudah diperiksa di Pusat Kontrol Jemaah Haji menjelang masuk Mekah bis harus diganti. Terpaksa tas-tas besar juga diturunkan dan dipindahkan ke bis yg baru. Akhirnya kami sampai di maktab 714 Aziziyah pukul 05.00, dan memperoleh kamar pukul 06.15 padahal pukul 7 sudah harus siap ke Masjidil Haram untuk Umroh.

Tuesday, January 08, 2008





SAYA BERHAJI, SAYA MENCATAT

(I) MADINAH

Mengapa bagi seorang muslim, haji ditempatkan dalam salah satu rangkaian peribadatan terpenting? Menurut Dr Ali Syari’ati, dari perspektif praksis dan konseptual, ada 3 rukun Islam (tauhid, jihad, haji) yg terpenting yg menimbulkan daya dorong kepada umat muslim, dan yg membuat warganya sadar, merdeka, terhormat, serta memiliki tanggung jawab sosial. Pada haji dipertunjukkan drama simbolik dalam alur gerak yg simultan: penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi dan ummat. Dan Allah SWT bertindak sebagai Sutradara.

Membaca buku-buku tentang haji adalah salah satu persiapan saya & istri berhaji. Selain ikut manasik di Kelompok Bimbingan Haji Aisyiyah Kab. Kulon Progo DIY, saya tak sempat mempersiapkan fisik agar prima, misalnya latihan jalan sejauh 3-5 km sehari. Saya hanya membawa sangu 1 rialan 100 untuk pengemis musiman yg katanya banyak di Madinah dan Mekah, serta Rp 500.000 (185 rial) yg sudah dijadikan rial (waktu itu kurs 1 rial Rp 2700an). Itu saja karena nanti di Donohudan setiap jamaah akan memperoleh living cost 1500 rial.

Catatan perjalanan saya tulis perhari dengan maksud agar bisa diposting pula hari itu, tetapi diluar perhitungan saya, saya tak bisa mengakses internet. Saya menggunakan kartu Halo dan Mobily (untuk telepon lokal) dan keduanya tak bisa digunakan untuk internet dan 3G. Saya sudah berusah mengontak petugas Halo di Mekah, tetapi mereka ternyata tak bisa pula mengakses ke internet, ”Saya juga tak bisa mengakses internet melalui Halo, karena nampaknya harus dengan password,” kata seorang petugas Halo yg saya hubungi via telepon. Jadi terpaksa saya posting sesudah saya sampai di rumah. Alhamdulillah.

28 Nop 2007, Rabu pkl 11.45 kami terbang dari bandara Adismumarmo, Solo,menuju Jeddah. Sesudah sekitar 1.40 menit terbang GA 6110 mampir di bandar Hang Nadim, Batam untuk mengisi Avtur. Banyak penumpang antri di toilet. Padahal selama mengisi Avtur dilarang ke toilet, karena sistim elektronik di pesawat dimatikan toilet bisa mampet. Sebenarnya ini kesempatan utk istirahat, sesudah di asram haji Donohudan sulit beristirahat karena banyak orang saling berceloteh.

Ketika kami berangkat dari masjid Agung, Wates, pukul 07.00 sudah diberitahu kemungkinan kami tak dapat jatah makan siang. Ternyata meski kami datang siang tetap memperoleh jatah 3x makan (siang, malam, pagi). Menunya memang sederhana (tempe, perkedel, sepotong ikan ayam kecil dan sop wortel) tetapi tetap dilahap. Ibarat pemanasan, karena kata pembimbing, pokoknya apapun menunya dan bagaimanapun rasanya, makan harus banyak untuk menjaga kesehatan tubuh. Kami menginap semalam di Donohudan.

Sesudah sarapan pagi kami menuju Adisumarmo. Banyak bawaan para jemaah, seperti: kecap, madu, sambal, dan bahan kosmetika cair yg melebihi 100 ml terpaksa harus ditinggal. Ada satu regu dari anggota Kelompok Terbang (Kloter) 30 SOC ini karena madu milik seorang anggotanya harus ditinggal, maka mereka mengambil inisiatif meminum madu tersebut di ruang tunggu dibagi kepada seluruh anggota regu. Konon, ada beberapa dari mereka muls perutnya ketika sudah di pesawat. Karena siang memang perut masih kosong.

Sekitar pkl 16.00 WIB GA 6110 baru menyediakan makan siang. Lauknya ikan, sayurnya sawi, kering kentang plus jeruk & krupuk. Untuk standar penerbangan internasional saya kira menu ini belum optimal (Atau karena penumpangnya kebanyakan orang desa seperti saya?). Hidangan jusnya cuma jeruk dan apel. "Banyak yg mabuk udara,"kata pak Hoddin, ketua regu (karu) kami (regu 4 rombongan 3) sesudah “setor” di toilet belakang. Kali ini tak banyak hal-hal yang mustahil ditemukan dibalik cerita tentang toilet.

Alhamdulillah GA 6110 mendarat mulus di bandara King Abd Aziz pada pkl 24.30 wib (20.30 waktu Jeddah). Pemeriksaan paspor dan pengumpulan tas-tas besar yang bakal dibawa ke Madinah cukup melelahkan. Apalagi ketika saya yang berada di akhir barisan pemeriksaan paspor, saya merasa disuudzoni para askar yang adalah aparat pemerintah Saudi Arabia. Saya difoto (di bagian pemeriksaan paspor itu terdapat 2 tustel di atas kepala orang pembawa paspor) dari depan, belakang samping kanan dan kiri. Terus mereka memelototi komputernya, kemudian berkonsultasi dengan supervisornya yang nampak bersitegang. Wah, ini artinya saya dicurigai, atau wajah saya mirip teroris dari Indonesia. Saya mengingat-ingat apakah benar wajah saya mirip buron teroris yang dipasang di kantor-kantor polisi kita? Tapi saya merasa ini sudah keterlaluan, mosok saya datang ke Arab Saudi atas panggilan Allah SWT kok dicurigai. Pemeriksaan paspor saya paling lama, butuh waktu sekitar 30an menit. Usai pemeriksaan para petugas imigrasi itupun tidak berusaha memberi penjelasan kepada saya atau meminta maaf (karena sudah mengganggu saya bik fisik maupun psikis), senyum pun tidak.

29 Nop 2007, Kamis. Seusai proses yang melelahkan itu, tengah malam kami langsung ke Madinah dengan bis yang di atasnya dipenuhi koper kami (45 orang/rombongan 3). Pada pukul 6 pagi waktu setempat (atau pkl 10 pagi WIB) sampai di penginapan Ali Naser AlMaleh. Kalau ditanya tepatnya di jalan apa, kami bingung. Karena penginapan ini terletak di tengah (kayak) perkampungan, sebelahnya ada masjid kecil tapi selama di sana saya belum tahu kapan masjid itu digunakan (suara azan pun tak kami dengar). Pokoknya, jalan besar yang kami lintasi bila ke masjid Nabawi berjalan kaki adalah King Abdul Aziz Road.

Madinah adalah kota hijrahnya Nabi Muhammad SAW, kediaman, dan pusat dakwah beliau. Kota ini disebut juga Thabha’ dan thayyibah berarti yang memiliki kebaikan. Madinah memiliki masjid Nabawi di mana di dalamnya terdapat makam Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Shalat satu kali di masjid ini, senilai seribu solat di tempat lain, kecuali masjidil Haram. (Solat di Masjidil Haram nilainya seratus kali dari Masjid Nabawi atau seratus ribu kali). Al Bazzar dan Tabrani meriwayatkan dari Abu Darda r.a. Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Satu shalat di masjidil Haram sama dengan 100.000 shalat di tempat lain, dan satu shalat di masjidku ini sama dengan 1.000 shalat, dan satu shalat di Baitul Maqdis sama dengan 500 shalat”. Kalau Nabi Ibrahim menjadikan Mekah sebagai tanah haram , maka Nabi Muhammad menjadikan Madinah sebagai tanah haram juga. Keduanya disebut Al Haramain, tanah haram. Namun, hanya di Madinah bahasa Indonesia dijadikan bahasa ketiga (setelah Arab dan Inggris) di setiap papan pengumuman baik di Nabawi maupun tempat-tempat ziarah di Madinah.

Kami seregu (laki2) alhamdulillah bisa sekamar berada di lantai 4, sedang ibu-ibu regu kami (6 orang) bergabung dengan regu lain karena 1 kamar kapasitas tempat tidurnya 12. Di Madinan ini kami mendapat jatah makan sehari 2 kali (siang dan malam). Makan paginya? Biasanya kami beli kebab seusai salat subuh di masjid Nabawi. Kebab isi ayam 2 rial, isi daging 3 rial atau ibu-ibu lebih suka beli roti semacam mavin seharga 1 rial, terus dibawa ke penginapan (maktab) dimakan bersama-sama. Minum hangatnya buat sendiri, mau pakai susu, kopi atawa teh yg dibawa dari tanah air. Baru pada hari ketiga di Madinah, kami menemukan orang-orang Indonesia (terutama dari Madura) yang berjualan nasi goreng/kuning ala Indonesia yang dijual 2 rial. Juga jual bakwan 1 rialan.

30 Nop 2007, Jum’at. Kami mulai beribadah ke mesjid Nabawi pada saat salat maghrib & isya, juga Subuh yang sudah masuk hari Jum'at. Namun, karena kelelahan dan kelambanan adaptasi lingkungan yang dilakukan tubuh saya, saya pun mulai batuk dan sesak napas. Oleh dokter di tim kesehatan kloter 30 kami disarankan untuk istirahat, tak usah Jum’atan dulu di Nabawi. Oke, saya pun hanya shalat zuhur dan ashar di penginapan. Tapi shalat maghrib & isya, alhamdulillah, saya mulai berjamaah di Nabawi, juga shalat subuh. Untuk menuju ke Nabawi kami berjalan kaki sekitar 1,5 km atau 30 menit (karena satu anggota kami dalam kondisi pemulihan pasca stroke jalan kami pun pelan).

1 Des 2007, Sabtu. Selain kami beribadah di Nabawi,KBIH Aisyiyah juga menggelar acara ziarah Wisata. Hari ini tujuan wisata ke Masjid Quba, Masjid Qiblatain, Gunung Uhud (di kaki bukit ini terdapat makam paman Rasul, Hamsah. Konon, ketika makam ini pernah dilanda banjir darah segar, dianggap sebagai darah Hamzah yg terbunuh di medan perang Uhud), Perniagaan Kurma.

Masjid Quba, di rumah Kultsum bin al Hadim dari bani Amru bin ’Auf, lalu beliau menambatkan untanya, kemudian mendirikan sebuah masjid. Beliau berpartisipasi aktif dalam pembangunannya, lalu beliau shalat di dalamnya. Ini adalah masjid pertama yg dibangun Rasulullah SAW di Madinah dan merupakan tempat pertama kali Rasulullah SAW dan para sahabatnya shalat berjama’ah dengan terang-terangan. Masjid ini juga disebut oleh Allah SWT dalam Qur’an surat At Taubah ayat 108. Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah, Maghrib & Isya berjamaah di Nabawi. Diriwayatkan dari Sahal bin Hunaif r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ”Siapa keluar dari rumahnya kemudian mendatangi masjid ini (masjid Quba) lalu shalat di dalamnya, maka pahalanya seperti ia umrah”. Masjid ini memiliki 56 kubah kecil dan 6 kubah besar serta 4 menara adzan, serta dapat menampung sekitar 20.000 jamaah. Bagian tengahnya yang terbuka ditutup dengan terpal yg bergerak secara elektrik. Alhamdulillah, saya sempat shalat 2 rakaat di masjid ini. Tetapi rombongan ibu-ibu regu kami tak bisa masuk ke masjid karena penuh dan saling berdesakan dengan orang-orang bertubuh besar yg berjalan melawan arus (jalan masuk lelaki dan perempuan dipisah).

Masjid Qiblatain dinamakan juga masjid bani Salimah karena terletak di perkampungan bani Salimah. Disebut Qiblatain (berarti dua kiblat) karena di masjid ini pernah didirikan satu shalat menghadap dua kiblat: Baitul Maqdis dan Masjidil Haram. Masjid ini terdiri atas dua lantai, memiliki 2 menara dan 2 kubah. Luas keseluruhannya 3.920 m2 . Masjid ini terakhir dipugar oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz menelan biaya 39,7 juta rial.

Uhud adalah sebuah gunung besar yg terletak di sebelah utara Madinah, berjarak sekitar 5,5 km dari masjid Nabawi. Uhud masih termasuk dalam kawasan tanah haram Madinah. Batas tanah haram dari arah utara yaitu bukit Tsaur yg berada di belakang gunung Uhud. Panjang Uhud dari arah timur hingga ujungnya di barat sekitar 6 km dan warnanya kemerah-merahan. Di kawasan ini pernah terjdi peristiwa mengenaskan, yaitu terbunuhny Hamzah r.a. paman Nabi, dan 70 orang kaum muslimin. Nabi SAW sendiri patah giginya. Peristiwa ini terjadi pada 2 tahun lebih 9 bulan 7 hari setelah Rasulullah hijrah. Saya sempat sejenak ziarah di makam paman Nabi, Hamzah, yang di papan pengumumannya ada yg ditulis dengan bahasa Indonesia. Intinya, ziarah kubur boleh hanya dilarang memohon sesuatu kepada yg sudah meninggal.

2 Desember 2007, Ahad. Pkl 3 pagi berencana ke Raudhah tapi gagal karena penuh, lalu saya salat tahajud dan berjamaah subuh. Raudhah, seperti diriwayatkan Abu Hurairah r.a. nabi bersabda: ”Di antara rumahku dan mimbarku adalah salah satu taman surga, dan mimbarku ini ada di atas telagaku.” Raudhah oleh para jamaah ditandai dengan area seluas 10x7 m2 yang berkarpet abu-abu atau hijau, karena karpet di masjid Nabawi berwarna merah (kecuali Raudhah). Dianjurkan untuk salat 2 rakaat di tempat ini. Tetapi untuk mencapai tempat ini tak mudah, karena harus berebut dengan sekian puluh ribu jamaah. Bahkan di hari-hari awal musim haji 1428 H ini, saya memperoleh berita bahwa seorang jamaah, umurnya sekitar 44an, dari Jawa Timur meninggal karena berdesakan menuju Raudhah.

Pada mulanya atas masjid Rasulullah SAW dipasang pada batang kurma (batang tersebut menjadi tiang penyanga), maka nabi SAW bila berkhutbah beliau berdiri dekat batang tersebut, terkadang beliau berdiri cukup lama. Lalu seorang wanita Anshar berkata: ”Wahai rasulullah, bolehkah ki membuatkan mimbar untukmu?”. Rasulullah SAW menyetujuinya. Maka par sahabat membuat mimbar untuk beliau. Tiga anak tangga terbuat dari pohon thurfa’. Pada Jum’at berikutnya, beliau berkhutbah di atas mimbar, maka batang kurma tersebut menangis. Beli bersabda: ”Pohon ini menangis karena tidak lagi mendeng dzikir yang biasa didengnya.”

Mimbar dibuat pada tahun ke-8 Hijriyah, dengan 3 anak tangga. Nabi SAW duduk di tangga terakhir dan meletakkan kakinya pada anak tangga ke2. Ketika Abu Bakar r.a. menjadi khlifah, ia duduk pada anak tanggak ke2 dan meletakkan kakinya pad anak tangga 1, demi menghormati Rasulullah SAW. Tatkala Umar r.a. menjadi khalifa, ia duduk di anak tangga 1 dan meletakkan kakinya di lantai. Dan ketika Utsman r.a. menjadi khalifah, ia melakukan seperti Umr r.a. selama 6 tahun, kemudin ia nik dan duduk di tempat Nabi SAW duduk. Ketika Mu’awiyah r.a. menjadi khalifah dan saat ia melaksanakan haji, ia menambah anak tangga ke arah bwah hingga mimbar mempunyai 9 anak tangga. Para khalifah berkhutbah dan duduk pada ank tangga ke7 yg merupakan anak tangga pertam mimbar Nabi SAW.

Mimbar ini terus dipertahankan hingga masjid Nabawi terbakar pada 654 H/1256 M, lalu digti dengan mimbar yg dibuat oleh Raja Yaman Al-Muzhaffar, kemudian mimbar ini mengalami pergantian beberapa kali. Terakhir mimbar hadiah khalifah Utsmi, yg dikirim oleh Sulthan Murad III pada 998 H. Mimbar ini sangat indah dan dibuat dengan tingkat ketelitian yg tinggi dan sampai sekarang masih ada.

Senin, 3 Des 2007, alhamdulillah sekitar pkl 02.45 kami satu regu bapak-bapak ber4 (Hoddin, Sugeng, Pujo, saya) mencapai Raudhah. Meski sudah ada beberapa jamaah yang antri tetapi tidak begitu penuh dan berjubel. Kami pun sempat salat 2 rakaat dengn khusuk tanpa diganggu jemaah lain yg biasanya tidak sabar menunggu. Sebelah kiri Raudhah adalah makam Rasulullah SAW, disebelahnya makam Abu Bakar r.a., kemudian makam Umar r.a.

Tatkala Nabi SAW wafat, para sahabt berbeda pendapt mengenai tempat dimana beliau akan dikebumikan. Para sahabat tidak tahu di mana Nabi SAW akn dikuburkan hingga Abu Bakar r.a. berkata: ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:”Seorang Nabi dikubur di tempat ia wafat”. Lalu para sahabatnya menggeser tempat tidur beliau dan mereka menggali kuburan di bawah tempat tidur beliau. Berarti Rasulullah SAW dikebumikan di kamar ’Aisyah r.a. tepatnya di bagian selatan kamar ’Aisyah r.a. Dan ’Aisyah r.a. tetap tinggal di bagian utara kamar tersebut dan tidak da pembatas dengan kuburan Nabi SAW. Tatkala Abu Bakar Ash Shidiq r.a. wafat, ’Aisyah r.a. mengizinkannya untuk dimakamkan bersama Nabi SAW. Maka igali kubur di belakang Nabi SAW berjarak satu hasta, kepalanya berhadapan dengan bahu Rasululluh SAW. ’Aisyah r.s. tidak membuat tirai penutup dengan dua kubur tersebut. ’Aisyah r.a. berkta: ”Mereka adalah suami dan ayahku”.

Setelah Umr bin Khattab r.a. wafat ‚ ’Aisyah r.a. mengizinknnya dimakamkan bersama dua orang sahabtanya. Maka digali kubur sehasta di belakang kubur Ash Shidiq dan kepala Umar sejajar dengan bahu Ash Shidiq. Karena Umar r.a. bertubuh tinggi, kakiknya menyentuh dinding kamar. Pada saat itu ’Aisyah r.a. membu tirai penutup antar tempat tidurnya dengan kuburan tersebut, karena Umar r.a. bukan mahramnya.

Berziarah ke kubur Nabi SAW tidk termasuk wajib atau syarat sahnya haji seperti yg dipahami oleh sebagian orang. Tetapi hukumnya sunah bagi orang yg mengunjungi masjid Nabawi. Jadi, prosesi ziarah kubur merupakan rentetan dari berziarah ke masjid Nabawi. Dan siapa yang ingin berziarah ke kubur Nabi SAW hendaklah ia berdiri di dekat kubur beliau dengan penuh adab dan merendahkan suara kemudian mengucapkan salam kepada beliau SAW seraya mengucapkan:”Salam sejahtera, rahmat Allah dan keberkahanNya untukmu ya Rasulullah”. Kemudian setiba di makam Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. mengucapkan salam dan berdoa kepada Allah SWT memintaan keridhaan kepada kedua sahabat Nabi SAW itu. Kami berempat alhamdulillah juga melakukannya dengan khikmad meski tidak bisa mendekat di makamnya dibatasi pagar berteralis tembaga. Banyak jamaah yg menempelkan tubuhnya di pagar tersebut sambil meratap berlama-lama padahal masih banyak jamaah lain yg menunggu. Oleh para ulama salafus shalih itu dianggap sebagai bid’ah yg buruk. Tidak dibenarkan bagi siapapun meminta kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan hajatnya, melapangkan kesulitannya, menyembuhkan keluarganya yg sakit dan sebagainya. Karena hal yg demikian hanya dimohonkan kepad Allah SWT. Juga meminta hal-hal tersebut kepada orang yg telah meninggal berarti telah menyekutukan Allah SWT.

Perbuatan yg dilakukan oleh sebagian penziarah dengan mengeraskan suara di dekat kuburan Nabi SAW dan berdiri berlama-lama di sana, menyalahi syari’at. Sebab berdiri berlama-lama dan berulang mengucapkan salam menyebabkan terjadinya kerumunan, suara gaduh, saling desak yang menyakitkan jamaah lain. Juga tidak dibenarkn penziarah mengucapkan salam kepad Nabi SAW dengan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dan menempelkannya ke dada seperti orang sedang salat.

Etika memasuki ke tempat tersebut sebenarnya urutannya adalah:Menguluk salam ke makam Rasulullah SAW, kemudian baru ke Raudhah. Tetapi karena suasana yang berjejalan tidak memungkinkan kami melakukan itu. Jadi, kami ke Raudhah dulu. Mungkin karena penuh rasa syukur sesudah 3 malam berturut-turut kami gagal mencapai Raudhah.