Saturday, February 23, 2008

HARI HARI DI MEKAH (Lanjutan)



SENIN 10 Des 2007. Sesudah subuh kami mengikuti pengajian ustadz Fathurrohman Kamal di halaman luar pintu masuk Masjidil Haram. Saya sengaja minta no.hp pak Fathur & pak Kamiran karena saya merasa kurang mendapat info banyak tentang kegiatan rombongan 3. Misalnya, soal titip beli Al Qur'an di Percetakan Al Qur’an yang katanya akan dibelikan bila tak sempat beli, ternyata waktunya cuma dibatasi sehari. Dan saya baru tahu ketika ketua rombongan 5 Andar Jumalian menginformasikan hal itu kepada saya. Sayang, padahal saya ingin punya Qur’an gede yg harganya cuma 60 rial, sedang di toko buku di Pasar Seng harganya mencapai 150 rial.

Seusai pengajian jamaah KBIH Aisiyah menuju Ma'ala, makam istri Nabi SAW, Siti Chotijah r.a. Salah satu keistimewaan makam ini adalah seluruh lembah pemakaman menghadap Ka’bah. Perjalanan menuju makam ditempuh dengan jalan kaki, melewati Pasar Seng, juga Masjid Kucing atau masjid perawi hadis Nabi SAW, Abi Hurairah, yang dikenal sangat menyayangi kucing.

Makam Siti Chotijah r.a. berada di paling ujung di ketinggian bukit kecil. Makam beliau dikelilingi tembok setinggi 3 meter, ditemboknya dipasangi teralis besi bercat hijau. Setiap pengunjung (diatur masuk satu-satu) sehingga dapat melihat makam tersebut melalui celah teralis. Makamnya di pinggir luarnya diberi tembok pembatas setinggi sekitar 20 cm. Di dalam pembatas luar ada pembatas makam beliau yang juga dibatasi tembok putih setinggi sekitar 5 cm. Di bawah makam beliau adalah tempat pemakaman umum yang terbagi dua: sebelah kanan permanen & kiri sementara. Yakni setiap jasad dimasukkan ke lobang kubur (yang dpt diisi 2 tingkat, terus ditimbun jerami, lalu tanah, baru kemudian ditutup beton yg ada kait pengangkatnya). Dalam periode tertentu (setahun?) jenazah diganti dengan jenazah baru. Karena itu makam tersebut pas musim haji baunya agak menusuk hidung. "Beda dengan makam Baqi," kata Andar, "Kalau di Baqi jenazah dimasukkan lobang, lalu disimpan di lorong sehingga tak bersentuhan lansung dangan tanah". Di makam, baik baqi atau Ma’ala, perempuan tidak boleh masuk. Para ibu hanya bisa menunggu di aula yang sudah disediakan di ruang depan. Di Arab Saudi berlaku ketentuan bahwa perempuan dilarang melakukan ziarah kubur.

Usai dari Ma’ala, Ustadz Kamiran Komar di depan Ma'ala menunjuk posisi masjid Jin yang terletak persis di ujung hotel depan makam (dindingnya marmer berwarna coklat). Hampir pukul sepuluh kami usai berziarah, perut belum terisi makanan. Karena itu sambil jalan menuju pulang kami (hanya saya & istri, anggota regu kami yang lain tak ikut berziarah) membeli sepotong roti buat berdua dan 2 kopi susu cukup 5 rial dan mengenyangkan. Sesudah sarapan ala kadarnya kami melewati Pasar Seng, saya membeli buku "Sejarah Mekah" & "Sejarah "Madinah" masing seharga 15 rial (yang antara lain menjadi rujukan tulisan ini).

Sampai di maktab kami beli pisang 2kg (10 rial) dan roti 2 rial. Pisang cavendish (semacam pisang ambon), kata orang, bila sehari makan dua buah saja sudah cukup untuk menjaga tekanan darah melonjak (bagi yang hipertensi/darah tinggi). Makan siang bersama baru pkl 14.00 WAS (Waktu Arab Saudi). Rencana semula berjamaah di Masjid Haram pada saat asyar, maghrib, isya diubah hanya magrib dan isya saja. Sesudah asyar berjamaah di musala depan maktab kami (lengkap seregu) berangkat ke Haram pukul 15.30. Tapi ternyata sudah penuh, terus menuju lantai 3 pun penuh, terpaksa berdesakan dengan jemaah lain. Tempatnya terbuka, berangin sejuk, matahari tak lagi meyorot tajam. Dari atas ternyata pemandangan thowaf membuat perasaan saya lagi-lagi bergetar.

Ribuan orang bergerak serempak mengelilingi Ka'bah, berlawanan dengan arah jarum jam, dari lantai 3 rapi tampaknya, tapi kalau melakoninya sendiri ternyata penuh perjuangan. Berjuang untuk tak terpental ditabrak jemaah lain. Berjuang untuk khusuk, karena banyak jemaah berdoa dengan suara dikeraskan. Berjuang untuk pasrah dan tidak gampang marah. Kadang saking bersemangatnya menabrak hak orang lain yang bersama beribadah. Egoisme beribadah tinggi, kadang malah tak terkendali.

Mencium Hajar Aswad? Dalam suasana yang begitu padat. Kami seregu ihlas kalau hanya bisa kiss bye saja. Toh itu sunah. Kata ustadz Fathurrohman, kalau mau ada juga orang-orang bayaran yang siap mengantar jamaah mencium Hajar Aswad. Tentu saja mereka mengawal jamaah dengan cara sikut sana-sikut sini. Masya Allah.

(Kalau ada nasehat selama berhaji beristirahatlah cukup dengan tidur 6-8 jam sehari, barangkali orang yang memberi nasehat kala berhaji amat santai. Soalnya, kalau salat berjamaah ke masjid Haram atau Nabawi saban malam, dan setiap malam harus bangun pukul 2 pagi ke masjid agar memperoleh tempat, maka istirahat pun harus diirit. Hitungan 6-8 jam tidut tak lagi terpikirkan). (Lanjut ke posting berikutnya).

(Selain pengetahuan & praktek keagamaan harus kompetent, seorang pembimbing haruslah bersikap sebag aifasilitator. Komunikatip dan punya empati. Komunikatif artinya harus banyak mendengar & berbicara dg banyak orang, secara efektif. Empati berarti harus bisa menempatkan diri pada berbagai kondisi orang yang difasilitasi. Apakah pembimbing haji sudah memiliki kriteria ini?).

Selasa,11 Des 2007: Sehabis subuhan dari masjid Haram kami beli sayur ala Indonesia, onde2 & tempe, juga sayur pare (1 rial) di area terminal bis ulang-aling Aziziyah-Masjid Haram, depan maktab kami. Di maktab para ibu yang tidak ke Haram sudah masak bakmi godog dengan sayur sawi. Lumayan buat tambah stamina. (Sementara roti ala Arab seharga 1 rialan masih 2 tangkup di lemari es). Dhuhur & Asyar kami berjamaah di maktab, Mahgrib & Isya di Haram. Meski kami berenam (Sugeng & istri, saya & istri, Pujo & Hoddin) berangkat ke Haram pukul 4 sore, padahal maghrib baru pukul 17.35, masjid sudah penuh. Kami, akhirnya dapat tempat di lantai 3 sementara, ibu2 di lt.2. Beruntung saya bersebelahan dengan Mehmet Emerca, jemaah asal Istanbul, Turki, yang ramah. Ia bercerita bahwa ongkos haji standar bagi jemaahnya adalah 2200 dolar Eropa (atau sekitar Rp 13.500 x 2200 = Rp 29,7 juta) ya masih murahan kita sedikit.

Rabu (12/12) pukul 8 waktu setempat. Kami berangkat ke Arafah, bukan untuk wukuf tetapi berwisata sekalian melihat-lihat kayak apa to Arafah itu. Sebelum berangkat ada sebuah pengumuman yang ditempel di lift bahwa seluruh jamaah yang nginap di maktab 714 memperoleh pengembalian sewa penginapan 300 rial. (Dulu di Madinah dikembalikan 100 rial, alhamdulillah, buat tambahan sangu). Di Arah ternyata kami hanya melintas, kemudian menuju Jabal Rahmah. Meski retoran masih pada tutup tetapi jamaah lain (baik dari Indonesia maupun negara lain) cukup banyak. Di pelataran sebelum menuju Jabal rahmah banyak terdapat pedagang kaki lima yang menjual oleh-oleh (sajadah maupun kerajinan lain). Banyak pula unta yang dihias kemudian disewakan untuk dinaiki atau sekedar berfoto-ria. Saya dan istri tertarik untuk naik salah satu unta tersebut. Kami tidak tahu persis bagaimana kondisi “persewaan” unta ini. Hanya kata pak Tarjo (ketua rombongan 3) sewanya 10 rial. Kami berdua pikir dengan uang sejumlah itu bila bisa naik unta dan berkeliling di sekitar itu lamyanlah. Eh, ternyata naik untanya gratis, tapi jepretan foto polaroidnya (oleh pembawa unta) itu yang bisa jadi “senjata pemerasan”. Begitu kami naik langsung saja jeprat-jepret polaroid beraksi. Semakin banyak dijepretkan semakin banyak pula si pembawa unta itu menangguk untung. Harga 1 jepretannya pun ia paksa 20 rial. La kalau 10 jepretan, padahal posisi yang difoto asal-asalan bisa-bisa kami harus bayar 200 rial. MasyaAllah. Karena itu begitu ia menjepret kami 5 kali langsung saya minta berhenti, langsung saya bayar 50 rial. Karena deal pertama hanya 10 rial sekali jepret. Meski ia terus memaksa kami bayar 100 rial. Ini pelajaran pertama ditipu orang Arab di Arafah. "Makanya lain kali harus jelas dulu dealnya," kata istri saya. Namun, saya tak yakin apakah orang-orang semacam itu benar-benar pegang janji. Akhirnya niat mau naik ke Jabal Rahmah (konon tempat bertemunya Adam & Hawa) urung. Gara-gara naik unta.

Sebenarnya wisata ini sekaligus melihat poisi tempat melempar jumrah dan sebagainya. Tetapi karena pembimbing kami ketiduran di bis, ya akhirnya lewat. Lewat, atau melalui tempat yang diagendakan, tetapi karena tak ada yang berhalo-halo memberi tahu ya blabas saja. Sampai kemudian kami tiba di suatu tempat kayak pelataran dimana kami bisa melihat dari kejauhan orang-orang mendakit Bukit Hira. Berfoto bersama sebentar, lalu balik ke maktab pukul 11.30. kami seregu berharap bisa makan siang di maktab dari jatah yang dibagi panitia tadi pagi (karena kami sudah sarapan dari maktab). Ternyata begitu mau dimakan bersama-sama ternyata sudah basi. Jadi, jatah makan di sini memang tak bisa disimpan lebih dari 2 jam. Cuma, jatah makan kali ini diberikan dalam kotak alufoil yang polos. Tak seperti jatah makan di Madinah, misalnya, yang selalu dalam kotak alufoilnya ada peringatan dari jasa boganya kalau makanan tersebut tak boleh disimpan lebih dari 2 jam. Syukurlah, masih ada abon yang dibawa dari tanah air. Sore harinya kami bertiga (saya, Pujo, Sugeng) ke Haram berjamaah maghrib & isya. Pak Hoddin dan istri ke Haram juga tetapi berangkat lebih dulu karena ada janji ketemu dengan keluarga. Sedang ibu-ibu regu kami yang lain kecapaian. Bertiga kami menuju lantai 2, suasan sudah padat jamaah. Tetapi kami nekat saja cari celah. Pokoknya, tekad kami, tak perlu harus kumpul bertiga untuk mendapatkan saf. Tetapi saling mengingat posisi masing-masing sehingga ketika mau pulang bisa bersama lagi. Oleh karena itu pak Pujo dapat tempat di sebelahnya orang Pakistan, pokoknya asal bisa omong dengan bahasa “tarzan” cukuplah. Begitu juga pak Sugeng bersebelahan dengan orang India. Saya sendiri malah bersebelahan dengan orang Gorontalo. Ketika pulang karena saking bersemangatnya bercerita tentang komunikasi dengan bahasa “tarzan” itu kami nyaris nyasar ke jurusan Misfalah. Akhirnya, sesudah sadar kami nyasar cukup jauh, kami balik lagi ke masjid, kemudian kami mengingat-ngingat lagi pintu masuk dan nomor eskalator yg kami lalui ketika masuk tadi. Eskalator Aijad no.8 pun ketemu, dan kami alhamdulillah bisa balik lagi ke maktab.

(Catatan:Terminal bis Masjid Haram yang menampung bis dr Aziziah didominasi oleh 3 bendera: Merah Putih (Indonesia), Merah Putih Hitam plus panah Hijau (India), dan Diyanet (ini semacam Event Organizernya grup Turki) serta Iran. Diyanet bisnya berwarna oranye merek nya Mercides Bens, India dan Iran bisnya berwarna biru muda merek Hyuandai, sdg Indonesia berwarna hijau bisnya bermerek Yutong (China) masih baru. (Orang Indonesia & India sama-sama suka nerobos pagar antrean yang dibatasi rantai. Sementara orang Turki lebih tertib, antre. Di Aziziah 3-4 komunitas ini memang dominan, tetapi yang paling banyak orang Istanbul. Bahkan restoran iIstanbul marak di sini. Ayam panggang 14 real/ekor. Beli 1/2 ekor 7 rial. Roti buaya (bentuknya kayak buaya),rasanya tawar gurih,1real sebiji. Roti arab yang gepeng bundar (besar/kecil), yang biasa dimakan oanrg Arab beramai-ramai, sebiji 1 real juga. Roti itu dimakan dengan diolesi susu keju (3rial) terasa nikmat. (Bersambung ke posting berikutnya).

Wednesday, February 06, 2008

HARI-HARI DI MEKAH








SENIN 10 Des 2007. Sesudah subuh kami mengikuti pengajian ustadz Fathurrohman Kamal di halaman luar pintu masuk Masjidil Haram. (Saya sengaja minta no.hp pak Fatkhur & pak Kamiran karena saya merasa kurang mendapat info tentang kegiatan Rombongan 3. Misalnya, soal titip beli Al Qur'an di Percetakan Al Qur’an yang katanya akan dibelikan bila tak sempat beli ternyata waktunya cuma dibatasi sehari. Dan saya baru tahu ketika ketua rombongan 5 Andar Jumalian menginformasikan hal itu kepada saya. Sayang, padahal saya ingin punya Qur’an gede yg harganya cuma 60 rial, sedang di toko buku di Pasar Seng harganya mencapai 150 rial.
Seusai pengajian jamaah KBIH Aisiyah menuju Ma'ala, makam istri Nabi SAW, Siti Chotijah r.a. Salah satu keistimewaan makam ini adalah seluruh lembah pemakaman menghadap Ka’bah. Perjalanan menuju makam ditempuh dengan jalan kaki, melewati Pasar Seng, juga Masjid Kucing atau masjid perawi hadis Nabi SAW, Abi Hurairah, yang dikenal sangat menyayangi kucing.
Makam Siti Chotijah r.a. ada di paling ujung di ketinggian bukit kecil. Makam beliau dikelilingi tembok setinggi 3 meter, ditemboknya dipasangi teralis besi bercat hijau. Setiap pengunjung (diatur masuk satu-satu) sehingga dapat melihat makam tersebut melalui celah teralis. Makamnya di pinggir luarnya diberi tembok pembatas setinggi sekitar 20 cm. Di dalam pembatas luar ada pembatas makam beliau yg juga dibatasi tembok putih setinggi sekitar 5 cm. Di bawah makam beliau adalah tempat pemakaman umum yg terbagi dua: kanan permanen & kiri sementara. Yakni setiap jasad dimasukkan ke lobang kubur (yg dpt diisi 2 tingkat, terus ditimbun jerami, lalu tanah, baru kemudian ditutup beton yg ada kait pengangkatnya). Dalam periode tertentu (setahun?) jenazah diganti dengan jenazah baru. Karena itu makam tsb baunya agak menusuk hidung. "Beda dg makam Baqi," kata Andar, "Kalau di Baqi jenazah dimasukkan lobang, lalu disimpan di lorong sehingga tak bersentuhan lansung dg tanah". Di makam, baik baqi atau Ma’ala, perempuan tidak boleh masuk. Para ibu hanya bisa menunggu di aula yg sudah disediakan di ruang depan. Di Arab Saudi berlaku ketentuan bahwa perempuan dilarang melakukan ziarah kubur.
Usai dari Ma’ala, Ustadz Kamiran Komar di depan Ma'ala menunjuk posisi masjid Jin yg terletak persis di ujung hotel depan makam (dindingnya marmer warna coklat). Hampir pukul sepuluh kami usai berziarah, perut belum terisi makanan. Karena itu sambil jalan menuju pulang kami (hanya saya & istri, anggota regu kami yg lain tak ikut berziarah) membeli sepotong roti buat berdua dan 2 kopi susu semuanya 5 rial dan cukup mengenyangkan. Sesudah asarapan ala kadarnya kami melewati Pasar Seng, saya membeli buku "Sejarah Mekah" & "Sejarah "Madinah" masing seharga 15 rial.
Sampai di maktab kami beli pisang 2kg (10 rial) dan roti 2 rial. Pisang cavendish (ambon), kata orang, bila sehari makan dua buah saja sudah cukup untuk menjaga tekanan darah melonjak (bagi yg hiopertensi). Makan siang bersama baru pkl 14.00 WAS (Waktu Arab Saudi). Rencana semula berjamaah di Masjid Haram pada saat asyar, maghrib, isya diubah hanya magrib dan isya saja. Sesudah asyar berjamaah di musala depan maktab kami (lengkap seregu) berangkat ke Haram pukul 15.30. Tapi ternyata sudah penuh, terus menuju lantai 3 pun penuh, berdesakan. Tempatnya terbuka, berangin sejuk, matahari tak lagi meyorot tajam. Dari atas ternyata pemandangan thowaf membuat perasaan saya bergetar.
Ribuan orang bergerak serempak mengelilingi Ka'bah, berlawanan dengan arah jarum jam, dari lantai 3 rapi tampaknya, tapi kalau melakoninya sendiri ternyata penuh perjuangan. Berjuang untuk tak terpental ditabrak jemaah lain. Berjuang untuk khusuk, karena banyak jemaah berdoa dengan suara dikeraskan. Berjuang untuk pasrah dan tidak gampang marah. Kadang saking bersemangatnya menabrak hak orang lain yg bersama beribadah. Egoisme beribadah tinggi, kadang malah tak terkendali.
Mencium Hajar Aswad? Dalam suasana yang begitu padat. Kami seregu ihlas kalau hanya bisa kiss bye saja. Toh itu sunah. Kata ustadz Fatchur, kalau mau ada juga orang-orang bayaran yg siap mengantar jamaah mencium Hajar Aswad. Tentu saja mereka mengawal jamaah dengan cara sikut sana-sikut sini. Masya Allah.
(Kalau ada nasehat selama berhaji beristirahatlah cukup dengan tidur 6-8 jam sehari, barangkali orang yg memberi nasehat kala berhaji amat santai. Soalnya, kalau salat berjamaah ke masjid Haram atau Nabawi saban malam. Dan setiap malam harus bangun pukul 2 pagi ke masjid agar memperoleh tempat, maka istirahat pun harus diirit. Hitungan 6-8 jam tidut tak lagi terpikirkan). (Lanjut ke posting berikutnya).